Selasa, 26 Oktober 2010

ANAKKU SEDANG BERJUANG

FNA memang sedikit kegemukan. Dengan tinggi 178 cm dan bobot 98 kg tampak kurang langsing. Celana wool hitam Executif ukuran 36 inci yang dikenakan kelihatan "ngapret", sebagian lemak perutnya menggelembung di atas ikat pinggang, pahanya pun seperti tersiksa oleh ketatnya celana. Baju putih lengan panjang merk Polo dari bahan "koyor" jauh dari necis. Untung pagi-pagi saya sudah minta tolong Yanto untuk menyetrikanya sehingga tidak kelihatan terlalu kumal. Kaos dalamnya warna putih mangkak dibeli tahun 2004. Waktu dipakai bagian leher kaos tsb tampak melintir karena sudah terlalu tua. Huruf Jepang warna merah di bagian dada kelihatan jelas karena baju luarnya warna putih agak transparan. Tidak tega aku melihatnya, kuminta dia segera ganti kaos dalam dengan kaos singletku karena waktu berangkat dari Denpasar dia tidak bawa kaos cadangan.

Rambutnya gondrong, bergelombang tidak terawat. Kucoba untuk membantu menyisirnya. "Ah... helaian-helaian rambut ini sungguh bagus" komentarku dalam hati, subur hitam mengkilap. Walaupun sudah beberapa kali kusisir tetapi tetap saja ujung rambut bagian belakang tampak "njenthit" seperti ekor kucing. Andaikan masih cukup waktu pasti aku akan memotongnya supaya kelihatan lebih rapi. Apapun adanya, entah kegemukan, entah bajunya kumal entah rambutnya tidak terawat FNA adalah anakku yang siang ini akan diwawancarai oleh assessor dari Jobs Experd konsultan rekruitmen, seleksi tahap ke 3 untuk dapat diterima di program ODP bank BNI. Anakku sedang berjuang untuk mencari kehidupan.

Nasi bogana bungkus yang dibelikan Yanto hanya dimakan beberapa sendok. Entah tidak enak atau lagi tidak selera, atau stress dia hanya makan sedikit. Aku khawatir nanti dia kelaparan. Agar tidak stress aku tawarkan membawa sebotol kecil air mineral supaya diminum sebelum wawancara, tapi dijawab "tidak usah pak" . Pukul 11.45 kami keluar meluncur ke kawasan Kebayoran, jalan Mataram no 59 Jakarta.

Dibawah hujan deras dia keluar dari mobil kemudian segera berlari menerobos sela-sela air hujan menuju ke teras rumah besar itu. Dari balik kaca kulihat baju dan rambutnya basah, aku khawatir dia nanti masuk angin. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan dia, rasanya aku ingin mendampingi  ketika diwawancarai. Tapi mana mungkin. Aku pasti tidak diijinkan panitia. Hanya doaku menyertaimu, anakku, agar Allah mengampuni semua dosa dan kesalahanmu, memberimu petunjuk, kemudahan, dan kekuatan sehingga kamu memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.

Hujan masih tetap deras ketika aku melanjutkan perjalanan menuju ke Bandara Sukarno Hatta. Meskipun sudah di lounge terminal F, tapi aku merasa ada yang masih tertinggal, yaitu hatiku. Seakan-akan aku melihat anakku sedang diwawancarai, tergagap-gagap,  peluhnya bercucuran.  "Bapak....!", lamat-lamat aku mendengar rintihannya, kedua tangannya terjulur menggapai ke arahku, minta tolong. Rasanya seperti "dibethot". Ibarat kerikil pada ketepel yang karetnya sedang ditarik maksimal kemudian dilepaskan. kerikil lepas melesat jauh meninggalkan diriku. "Sini nak, sini...., ayo tak gendong!".

(Lounge Garuda terminal F)