Rabu, 27 Juli 2011

GURU DIPECAT MURID MENANGIS, SAYA DIPECAT ?

Sore 20 Juli 2011, Metro TV memberitakan bahwa Fransis guru honorer Bahasa Inggris di SD Mayang 01 Jember dipecat oleh kepala sekolah tanpa ada penjelasan atau klarifikasi  tentang alasannya.  (Belakangan kepala sekolah menjelaskan bahwa pak Fransis dipecat karena menimbulkan perpecahan di antara guru). Ketika pergi meninggalkan sekolah pak Fransis dikerubuti puluhan muridnya dan sebagian besar  menangis sesunggukan dengan air mata bercucuran bahkan ada yang histeris.  Perilaku murid-murid itu tampak asli tidak direkayasa, diarahkan atau dibayar. Reaksi mereka kelihatan spontan. Dengan berseragam merah putih mereka mengiringi kepergian sang guru meninggalkan halaman sekolah.

Penyiar TV menjelaskan bahwa murid-murid itu menangis karena sang guru dianggap sangat dekat dan baik dengan mereka.  Prestasi mereka juga makin menonjol setelah diajar Fransis, bahkan beberapa  kali berhasil menjadi juara lomba bahasa Inggris di Jember.

Saya jadi teringat apa yang dialami pak Fransis mirip dengan saya alami tahun 2007. Yang beda adalah respon orang-orang sekelilingnya.  Kalau kepergian pak Fransis diiringi, dikerubuti, dan ditangisi oleh murid-muridnya, tetapi kepindahan saya tidak ada seorangpun yang mempedulikan.  Kecuali teman saya dokter Sugeng Suparlan yang langsung datang ke kantor saya, memeluk dan membisikkan kata-kata "Yang sabar ya..., jalani saja..., kami semua tahu yang bapak lakukan adalah untuk kebaikan kita semua".  Teman saya lainnya, pak Slamet berkali-kali memberi saran "Jangan tampak sedih.... Ada yang senang kalau anda sedih!".  Memang saya tidak dipecat seperti pak Fransis sih, cuma di-non job-kan.  Mungkin karena alasan itu teman-teman dan karyawan menganggap bahwa nasib saya tidak fatal sehingga tidak memberikan tanggapan apa-apa.  Apa sih  terjadi?

Tahun 2007, ketika pak Boss menghendaki agar besaran premi pensiun sekaligus benefit pensiun seluruh karyawan dipatok hanya naik 5 persen tiap tahun (sebelumnya diatas 5%) maka saya sebagai bawahan boss menyampaikan bahwa bedasarkan hasil rapat semua pejabat eselon 1 dan Serikat Karyawan tidak setuju dengan rencana pak boss tersebut karena sangat merugikan karyawan. Pada peraturan sebelumnya, setiap ada kenaikan gaji baik kenaikan gaji bersama, kenaikan gaji berkala, maupun kenaikan jabatan, premi pensiun mengikuti kenaikan tersebut.   Dengan aturan baru ini maka nilai yang diterima karyawan ketika pensiun sangat rendah.  Sebagai contoh Tommy, sarjana yang baru diangkat sebagai pegawai tetap dengan jabatan Kepala Regu  (pada 2007 gajinya sekitar Rp 3.2 juta/bulan),  meskipun kelak dia naik jabatan menjadi Kasi, Kabag, Manajer, atau General Manajer dan gajinya naik berlipat-lipat maka  Gaji Dasar Pensiunnya hanya naik 5% per tahun konstan. Jika recana pak boss dijalankan maka ketika Tommy pensiun tahun 2032 dia hanya menerima uang pensiun sebesar Rp 3,8 juta per bulan.  Nilai uang Rp 3,8 juta pada tahun 2032 niscaya lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten tahun 2007 sebesar Rp 745 ribu.  Masa' sih seorang sarjana bekerja 30 tahun akan diberi pensiun lebih rendah dari UMK?.

Minute rapat eselon 1 yang kesimpulannya tidak setuju dengan rencana tersebut saya sampaikan ke direksi. Mungkin pak boss tidak berkenan dengan hasil rapat itu karena berlawanan dengan konsepnya. Pak bigboss memang pintar dan cerdas, dipanggilnya pak X, seorang pejabat eselon 1 yang berpengaruh, ke kantor beliau. Pak X ini ikut  juga pada rapat eselon 1 yang minute rapatnya saya sampaikan tadi. Kabarnya dia ditanya oleh pak boss bagaimana pendapatnya jika rencana premi dan benefit pensiun karyawan dipatok rata semua naik 5 persen per tahun.  Pak boss memang pernah menjelaskan latar belakang rencana kebijakan tersebut  berikut ini.  
Perusahaan ini perlu menerapkan suatu kebijakan yang tidak terbebani  oleh biaya yang terlalu besar untuk membayar premi pensiun berupa Past Service Liability (PSL) atau Back Service. Saat itu beban PSL dirasa sangat berat. Jika ada kenaikan jabatan maka kenaikan tunjangan jabannya  berpengaruh pada naiknya premi pensiun.   Contoh pak Ar, seorang manager. Pada tahun 2005 walaupun  3 (tiga) bulan lagi memasuki masa persiapan pensiun tetapi pak Ar dinaikkan jabatannya menjadi general manager. Agar benefit pensiunnya eqivalen dengan standar pensiun general manager maka perusahaan harus membelikan premi sekaligus sekitar Rp 380 juta. Kalau satu tahun pejabat yang dinaikkan jabatannya mulai Supervisor sampai General Manager  mencapai 200 orang maka premi yang harus dibayar sangat besar dan itu pun akan terus naik setiap tahun.  Untuk mencegahnya hanya ada 2 pilihan yaitu 1) tidak menaikkan jabatan atau 2) premi dipatok tadi.  Pilihan pertama sulit karena tidak mungkin manajemen tidak menaikkan jabatan seseorang untuk jangka lama karena selalu ada yang pensiun, promosi atau rotasi. Wal hasil pak bigboss menyampaikan hasil pertemuan dengan pak X kepada direktur yang mengurus masalah ini bahwa pak X setuju jika rencana tersebut dilaksanakan. Artinya hasil rapat pejabat eselon 1 diabaikan atau dianggap tidak benar?  Walaah... saya yang menandatangi minute rapat eselon 1 tersebut  kena...., padahal itulah keputusan rapat asli....!!

Waah gimana ya.... Dulu waktu rapat eselon 1 pak X  bicara di bahwa dia tidak setuju jika pensiun dipatok tetapi ketika dipanggil sendiri oleh boss bilang lain?

Ketika pak X saya tanya kenapa sih kok beda antara yang disampaikan ke boss dengan keputusan rapat, dia bilang :"Lho saya tidak seperti yang disampaikan pak boss kok. Saya tidak pernah ditanya setuju atau tidak setuju, saya cuma diberi penjelasan saja. Kalau begitu saya akan menjelaskan ke direksi bahwa saya tetap tidak setuju"

Mungkin dia merasa tidak enak karena saya bilang bahwa saya akan menghadap sendiri ke boss untuk menegaskan kesimpulan rapat eselon 1, tetapi pak X mencegah. Dia bilang, "aku saja yang balik ke boss".  Dia bersama dua pejabat eselon 1 lainnya naik lagi ke boss untuk memberikan klarifikasi.  Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Tidak lama setelah itu Direksi pun menggelar rapat, salah satu agendanya adalah kebijakan pematokan premi pensiun. Saya sudah dengar hasil rapat, bahwa kebijakan pematokan  premi pensiun  naik 5 persen per tahun akan diterapkan.  Perintah untuk mengetik SK tentang hal tersebut sudah diberikan. 

Seorang direktur menyodorkan SK tersebut kepada saya untuk saya paraf sebelum ditandatangani Dirut.  Waduuh....ini bagaimana?  Saya yang memimpin dan menandatangani minute rapat pejabat eselon 1 yang kesimpulannya tidak setuju premi dipatok naik 5 persen, saya yang telah berdialog dengan serikat pekerja yang mana mereka juga tidak setuju, hati nurani saya juga tidak setuju dengan hal itu tetapi saya disuruh paraf.  Aduuuh......sungguh berat.

"Emoh pak", jawab saya menolak untuk paraf.  "Karena SK ini akan merugikan karyawan jangka panjang, rapat eselon 1 tidak setuju", alasan saya.  "Kalaupun tanpa paraf saya SK ini akan tetap syah kalau sudah ditandatangani pak bigboss", tambah saya waktu itu.

Pertengahan Agustus 2007 Surat Keputusan tentang pematokan premi pensiun naik sebesar 5 persen pertahun telah ditandatangai direksi, berlaku surut mulai 1 Juli 2007.  Tanpa paraf saya. Apalah artinya saya. Karyawan pun tidak ada yang bergolak, tenang-tenang saja karena tidak ada dampak langsung ke pendapatan gaji bulanan, mereka belum merasa efeknya pada pensiun.  SK ini memang tentang masa tua ketika karyawan pensiun. Saya deg-degan juga khawatir akan ada sesuatu yang menimpa diri saya. Bukan karena merasa tidak mau bertanggung jawab atas konsekwensi jabatan. Bukan pula karena SK ini akan merugikan karyawan tetapi karena saya bermimpi  bahwa rumah orangtua saya di desa tempat saya dibesarkan diterjang banjir bandang, lumpur hitam mengepung menerobos dari belakang rumah.  Dimana mana tampak lumpur hitam, luas...., sangat luas.

Tanggal 25 Agustus 2007 saya naik bis dari Cikampek ke Bandung selesai rapat di Pupuk Kujang, sekalian mau sambang ke Abrori anakku yang baru masuk ITB.  Ketika bis mulai mendekati kota Bandung staf personalia menelpon saya, "Pak,  ada kabar buruk".
"Gak apa-apa, sampaikan saja", jawab saya.
"Bapak dimutasi, di tempat yang tidak enak".
Saya diam saja, mengira-ngira tempat mana yang tidak enak itu.
"Di-staf-kan  pak", lanjutnya.  Jadi staf boss berarti tanpa anak buah, tanpa pasukan, tanpa job jelas.  "Itu adalah tempat pembuangan pejabat-pejabat bermasalah", pikir saya.
"Iya, saya sudah menduga sebelumnya", kata saya tidak bersemangat.
"Berlaku mulai 1 September pak", lanjutnya ringan.
Saya sudah tidak mengerti apa yang dia katakan selanjutnya, jalan ke Bandung pun tampak gelap gulita.

Saya ingin meniru para kesatriya, darahnya boleh menetes ke bumi tapi air mata tidak boleh membasahi pipi apalagi jatuh ke tanah.  Air mata kesatriya bila menetes ke kulit menyebabkan tulang rapuh, jika jatuh ke tanah menjadikan bumi sangar. Meskipun saya sedih karena akan di non job kan tapi saya berusaha untuk tidak menangis. Di kamar kos Abrori yang sempit di bandung saya mencoba untuk ber-kontemplasi, melakukan perenungan diri.  Sudah benarkah apa yang saya lakukan selama menjalankan tugas jabatan selama ini? Kalau saya bekerja dengan baik tentu atasan tidak akan membuang saya. Kalau saya di nonjob kan pasti pada pandangan mereka saya kurang baik, kurang memuaskan.  Apa yang mereka putuskan pasti dimaksudkan untuk kebaikan perusahaan karena mereka diangkat sebagai direksi oleh pemegang saham untuk mengurus perusahaan. Kalau saya taat dan patuh pada mereka pastilah aman nyaman dan tenteram.  Terus mengapa kemarin saya mendengarkan hasil rapat eselon 1 dan juga membela kepentingan karyawan.  Untuk apa, toh mereka semua akhirnya mencari selamat sendiri-sendiri.

Saya memang pernah mendeklarasikan diri bahwa sebagai General Manajer Sumber Daya Manusia saya memposisikan diri 50% untuk Direksi dan 50% untuk karyawan. Itu saya wujudkan dalam pelaksanaan. Jika kewajiban karyawan kepada perusahaan sudah terpenuhi saya memperjuangkan hak-hak karyawan kepada direksi.  Kalau hak-hak karyawan sudah dipenuhi maka saya akan membela direksi agar karyawan memenuhi kewajibannya. Lho apa bedanya?  Ya panjang.  Intinya kita bekerja adalah untuk beramal shaleh, berbuat kebaikan, bagi manusia.  Karyawan itu manusia, direksi iya manusia. Di rumah, anak isteri iya manusia.  Balik lagi ke atas, mungkin deklarasi saya itu keliru, harusnya ya 100% untuk direksi.  Karyawan sebagai sarana untuk mencapai sasaran. Mungkin kalau saya dulu menerapkan yang ini nasib saya lebih bagus, tidak di nonjob kan. Nah kalau sudah dibuang begini baru menyesal?

Mungkin terlalu lama merenung malah hanyut dalam perasaan tidak menentu.  Sedih, malu, kecewa, sakit hati campur jadi satu. Sedih karena kehilangan jabatan, ini berarti bahwa penerimaan berkurang, tunjangan jabatan, fasilitas, insentif dan  kehormatan juga berkurang bahkan hilang.  Malu, seolah-olah setiap orang lagi sibuk nggosip memperbincangkan kesalahan apa yang saya lakukan sehingga masuk kotak.  Kecewa, karena tidak seorangpun saya dengar  mencoba menolong saya dari pembuangan ini.  Anehnya tidak tahu kecewa terhadap siapa. Sakit hati, ternyata orang-orang begitu teganya kepada saya, kalau tahu begini jadinya ngapain aku dulu mau disuruh mengadakan rapat mau disuruh mengumpulkan pendapat kalau akhirnya ditinggalkan merana seorang diri.  Bahkan jadi korban.  Di kamar kos anakku yang sempit tidak seorang pun menemani saya yang lagi gundah.

"Pak kiai, saya lagi sedih karena mulai 1 September saya non job", itu sms yang saya kirim ke Gus Ali sambil tiduran di kamar Abrori.  Tidak segera ada jawaban, mungkin pak kiai lagi sibuk menerima tamu.  Saya pun mulai tidur tengkurap, putus asa karena tidak seorang pun mempedulikan saya.  "Kring...", dering HP saya, segera kupencet tombol hijau menerima telpon dari Gus Ali.
"Kula pak kiai", sambut saya.
"Kenging  napa sedih......", tanya gus Ali.
"Abot-abote tiyang nyambut damel Gus,  kula kesandung mlebet kotak......", jawab saya. Entah kenapa tiba-tiba mata saya menjadi basah, terharu, tidak menyangka kiai Ali menjawab sms saya dengan menelpon. Mungkin dia mendengar getaran suara saya seperti orang menahan tangis sehingga dia menyambung kata-kata nasihat, "Empun sedih-sedih nggih, empun didamel abot......". Ada satu ucapan lagi yang dia sampaikan yaitu "orang beriman tidak boleh sedih". Belakangan saya baru tahu ada firman allah, "walaa tahinuu walaa tahzanuu wa antum a'launa in kuntum mukminiin" jangan cengeng jangan sedih kamu adalah orang (berderajat) tinggi jika kamu benar orang beriman.

Saya memang beda dengan pak guru Fransis. Jika Pak Fransis dipecat,  saya alhamdulillah "hanya" masuk kotak, namun saya yakin perasaan dia sama dengan saya yaitu sedih, malu, kecewa, dan sakit hati, tidak tahu kepada siapa.  Jika pak Fransis diiringi barisan dan ditangisi muridnya, saya tidak. Tidak apa-apa karena  setiap orang pasti berbeda jalan ceritra hidupnya.  Yang di atas maha pandai menyusun skenario hidup manusia, meskipun sama sedih, malu, kecewa, atau sakit hatinya tapi  jalannya berbeda.

Bagaimana ketika saya "berkuasa"?  Astaghfirullah, kayaknya ada dua atau tiga orang yang pernah saya mutasi (bukan mengkotakkan lho)  yang  mungkin perasaannya sama dengan saya ketika masuk kotak.

"Bekerjalah dengan baik dimanapun anda ditempatkan karena orang tetap akan menilai anda". Kata-kata itu pernah saya dengar dan masih relevan sampai sekarang!