Kok bisa ya,pabrik pupuk sudah beroperasi penuh artinya produksi pupuk lebih besar dari kebutuhan,pelabuhan-pelabuhan sudah dijaga agar pupuk tidak diekspor, truk-truk angkutan pupuk diawasi, dan aturan-aturan tentang distribusi pupuk sudah jelas, tapi petani masih sulit membeli pupuk. Kalau pun ada harganya dua kali lipat dari ketentuan Harga Eceran Tertinggi.
Pada bulan Desember 2008-Januari 2009 harga pupuk urea satu sak (sekitar 50 kg)mencapai Rp 230.000 jauh di atas ketentuan pemerintah Rp 60.000. Di kios resmi tidak ada persediaan pupuk. Berita koran dibawah ini dapat dipercaya.
Radar Bojonegoro
[ Jum'at, 26 Desember 2008 ]
Harga Pupuk Kaltim Tembus Rp 230.000
Naik 400 Persen Dari HET
LAMONGAN - Harga pupuk di Lamongan masih terus meroket. Untuk pupuk urea Kaltim harganya menembus Rp 230.000 per sak. Harga tersebut melonjak hampir empat kali lipat atau 400 persen dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 60.000 per sak.
Melambungnya harga pupuk Kaltim tersebut dijumpai di wilayah Kecamatan Sekaran. ''Daripada tidak bisa panen, harga pupuk semahal itu terpaksa saya beli,'' kata Dahlan, petani dari Sekaran kemarin.
Menurut dia, harga pupuk urea Kaltim yang melambung tersebut tidak hanya di wilayah Sekaran saja, tetapi juga terjadi hampir di seluruh Lamongan. ''Teman-teman saya di kecamatan lain juga mengeluh soal harga pupuk yang mahal tersebut,'' ungkapnya.
Dahlan mengungkapkan, para petani umumnya mengira kalau harga pupuk urea Kaltim lebih mahal dibanding pupuk urea Petrokimia. Sebab pupuk tersebut harus didatangkan dari Kalimantan sehingga butuh biaya yang besar. ''Padahal pemahaman seperti itu keliru. Yang namanya pupuk bersubsidi tentu harganya sama di seluruh Indonesia,'' tukasnya.
Menurut Dahlan, adanya pemahaman petani seperti dikhawatirkan sebagai akal-akalan para spekulan atau tengkulak pupuk agar bisa menjual pupuk dengan harga yang sangat mahal sehingga bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. ''Pemerintah harus memberi penjelasan yang benar kepada para petani agar tidak dijadikan pemerasan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut,'' tandasnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Lamongan, Joko Purwanto tidak bisa dikonfirmasi karena handphone-nya tidak aktif. Namun sebelumnya pernah menjelaskan melalui Kabag Humas dan protokol Pemkab Lamongan, Aris Wibawa, bahwa Lamongan mendapat tambahan suplai pupuk urea Kaltim sebanyak 4.610 ton. Harganya juga sama dengan pupuk urea petrokimia yakni Rp 60.000 per sak.(feb)
Sekarang (April 2009) harga urea masih Rp 150.000 (ketentuan Rp 60.000),ZA Rp 125.000 (ketentuan Rp 52.500) per sak. Masih tinggi lho?
Kenapa kok mahal begitu ?
1) Permintaan lebih besar dibanding pasokan
Satu desa misal luas sawahnya 100 hektar kebutuhan pupuknya dipatok 100 Ha X 250 kg = 25 ton urea. Apa lantas tiap sawah 1 hektar dipupuk 250 kg? Belum tentu. Ada yg 300 kg ada yang 200 kg. Yg memupuk 300 kg beralasan ingin menambah produksi padinya, kekurangan pupuk cari di "pasar liar". Pasar liar ini sangat sempit tapi cukup banyak pelakunya (3 desa satu pemain). Karena disamping barangnya terbatas dan kalau tidak licin bisa tertangkap polisi,maka harga mahal. Pasar liar dilakukan dengan angkutan sepeda motor, satu sepeda motor mampu mengangkut 50-200 kg sekali jalan. Beberapa pihak diuntungkan dengan kondisi ini.
RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok) memang untuk mengontrol agar pemakaian pupuk tidak berlebihan tetapi kalau dipatok dengan kuantum yang ketat maka itu tadi salah satu dampaknya. Ringkas cerita, supply pupuk untuk petani masih kurang. Walaupun di produsen stok pupuk banyak tapi kalau penyaluran ke petani dibatasi dengan alasan penyesuaian alokasi,jumlah harus sama dengan RDKK, untuk efisiensi, dll. maka tetap disebut kurang. Permintaan/kebutuhan petani lebih tinggi dibanding dengan yang disediakan. Kalau saat ini pupuk yang dialokasikan sebesar 5,5 juta ton maka perlu disuplai 6 juta ton. Barangnya ada !
2) Merembes ke komoditi lain
Untuk mempertahankan swasembada pangan pemerintah memberikan pupuk subsidi bagi tanaman padi, sedangkan untuk tanaman industri tidak ada. Artinya harga pupuk untuk tanaman padi lebih murah (resminya Rp 60.000 per sak Urea)sedangkan untuk tanaman perkebunan bisa mencapai Rp 400.000 per sak. Dengan perbedaan harga yang besar ini peluang terjadinya perembesan sangat besar. Walaupun dijaga dengan ketat usaha untuk merembeskan pupuk agar memperoleh harga murah pasti ada.
Bagusnya harga pupuk untuk tanaman padi dan perkebunan disamakan saja. Kalau pengusaha perkebunan dirasa "keenakan" menikmati subsidi pupuk, bisa saja mereka dikenakan tambahan cukai atau pajak terhadap penjualan hasil perkebunannya (misal melalui tambahan pajak ekspor) sebagai kompensasi karena pupuknya disubsidi. Produksi perkebunan naik, cukai untuk negara juga naik, pekebun juga mudah mencari pupuk, tidak usah menyiasati atau "ngutil" pupuk subsidi, yang lebih penting bisa memperoleh pupuk dengan halal.
3) Sistem distribusi
Saat ini sudah ada aturan menteri perdagangan tentang sistem distribusi pupuk. Pabrik pupuk (lini I) langsung membawa pupuk ke gudang mereka di kabupaten (lini III). Distributor menyalurkan (membeli dan mengangkut)dari lini III ke kios resmi atau lini IV. Syarat dan prosedur pengangkatan distributor dan kios resmi sangat banyak dan sulit. Administrasi transaksi jual belinya juga ruwet dan tidak gampang. Apabila distributor dan kios kedapatan melanggar aturan konsekwensinya dipecat. Mestinya semuanya lancar, petani mudah jika beli pupuk. Tapi di lapangan masih banyak terjadi. Contoh, jika distributor mengangkut pupuk ke kios mestinya kios tidak dikenakan ongkos angkut lagi. Prakteknya transportir masih minta ongkos tambahan. Kelompok Tani jika mendatangkan pupuk 1 truk (8 ton) maka dikenakan tambahan ongkos angkut Rp 150.000,- Ini nanti dibebankan petani.
Bagusnya sistem distribusi diubah mirip SPBU Pertamina. Pabrik pupuk atau distributor menyiapkan pupuk di gudang lini III. Petani atau siapa saja yang mau beli pupuk silakan ambil sendiri di gudang lini III. Jika khawatir permintaan pupuk makin naik sedangkan dana subsidi terbatas maka HET nya saja dinaikkan. Sekarang HET Rp 60.000 tetapi kenyataannya Rp 230.000 per sak. Kenapa tidak dinaikkan saja menjadi misalnya Rp 90.000 per sak. Kalau dengan harga itu petani menjadi lebih mudah membeli pupuk maka diyakini harga hanya sekitar Rp 90.000 per sak. Perkiraan saya kebutuhan urea dalam negeri maksimum 6.2 juta ton per tahun. Jika jumlah itu yang disubsidi maka petani sudah terpuaskan kebutuhannya.
Jika anggaran subsidi pupuk saat ini sekitar Rp 17 triliyun, rasa-rasanya (hitungan kasar) dengan jumlah 6.2 juta ton urea maka sekitar Rp 20 triliyun sudah cukup. Jika HET pupuk ZA dan phonska dinaikkan dan distribusi dilonggarkan kenaikkan volumenya tidak sebesar urea.
Lainnya disambung nanti ah,....