Merry, itu nama bayi lutung yang kubeli di pasar burung Lumajang minggu tanggal 23 Mei 2010. Mungil sebesar kepalan tangan orang dewasa. Matanya hitam bulat blalak-blalak tampak cerdas, ekor panjang, bulu berwarna kuning emas. Umurnya sekitar 2 bulan, lucu dan sangat menggemaskan.
Semula aku hanya ingin melihat-lihat siapa tahu ada burung langka yang dijual pedagang di pasar tersebut. Tahun lalu aku beli burung hantu di pasar ini. Setelah tidak menemukan burung yang kucari, aku mau segera balik. Eh, tahu-tahu ada pedagang yang menawarkan monyet: "Boss aku duwe lutung, isih kuning mau tah?"
"Endhi...?", tanyaku. Dia lantas membuka kardus mie instan yang sudah dilubangi untuk keluar-masuknya udara, lantas dikeluarkannya bayi lutung itu. "Waow, lucu sekali!". Bayi lutung itu menjerit "ngooiik...ngooiik". Aku tidak mengerti itu jerit tangis atau nyanyi.
"Berapa?", tanyaku.
"Tiga ratus ribu", jawabnya.
"Satus seket ya".
"Gak boleh boss, ini dari kalimantan lho"
"Terus berapa bolehnya?"
"Duaratus lima puluh ribu"
"Ya wis, dua ratus ribu", tawarku.
Bayi lutung dimasukkan kembali ke kardus lantas diserahkan padaku. Segera kutaruh di jok belakang. Sepanjang perjalanan terus terdengar suaranya, kadang terdengar keras, sesekali lemah. Aku baru sadar kalau itu suara tangis setelah membayangkan bahwa dia baru saja dipisahkan dari induknya. Ketika berhenti di daerah Leces aku keluarkan dia dari kardus. Saat itu juga tangisnya reda kemudian dengan meloncat dia merangkul tanganku erat sekali seolah-olah tidak mau melepaskan. Tentu saja kusambut pelukannya dengan senang hati.Telapak tangan dan kakinya sangat lembut seperti telapak bayi. Setelah selesai istirahat, dia kupaksa masuk lagi ke dalam kardus. Yah...dia nangis lagi.
Ketika sampai di rumah anak lutung itu kuajak bicara, entah dia mengerti atau tidak,"Kamu kuberi nama Edo, sekarang kamu tinggal di sini sama aku ya, semoga kamu kerasan". Menurutku nama itu cukup gagah untuk lutung jantan seperti dia. Tetapi diluar dugaanku, Edo ternyata bukan jantan namun betina, terlihat dari arah semburan air kencingnya. "Wah ternyata kamu betina, namamu kuganti menjadi Merry". Terakhir aku baru mengerti bahwa Merry adalah jenis lutung Jawa yang dilindungi. Nama latinnya Trachypithecus auratus.
Merawat bayi lutung ternyata tidak mudah. Mungkin karena dia masih stress setelah perjalanan 180 km dari Lumajang, lapar, atau karena sebab lain dia menangis terus. Makan pun tidak mau. Dikasih pisang dia tidak doyan, "ngooiik-ngooiik" melulu, maunya cuma merangkul tangan atau kakiku. Diberi minum juga tidak mau. Baru setelah dotnya diganti dengan jenis yang lebih empuk dia mulai mau minum. Dia lebih suka susu Dancow balita ditambah sedikit gula pasir.
Tiga minggu aku merawat Merry, bukannya dia makin besar dan kuat tapi makin kurus. Malam hari jam 21.00 dia bangun terus menangis. Mungkin lapar. Setelah diberi minum baru dia tidur lagi. Jam 00.00-02.00 dia menangis lagi, minta minum, kalau tdk diberi akan terus menangis. Aku belum pernah tahu mahluk yang kuat tangisnya seperti anak lutung ini. Selesai ngedot langsung tidur. Tahu tidurnya lutung? Dia biasa tidur sambil duduk, kadang kepalanya disandarkan, kadang juga tidur melungker seperti tidurnya orang yang kedinginan. Sering dia hanya mau tidur setelah dibungkus dengan kain gombal sebagai selimut, mungkin lebih nyaman dan hangat.
Karena tampak makin kurus, maka kuganti susunya dengan susu sapi fullcream. Rupanya Merry suka susu fullcream, dia minum banyak. Tapi karena tidak yakin bahwa susu ini cocok maka kucoba mengecek ke beberapa dokter hewan yang namanya ada di internet. Saran mereka agar segera menghentikan pemberikan susu fullcream karena bisa bikin mencret. Wah ternyata betul, besoknya Merry diare. Aku amat menyesal.
Sabtu dan Minggu 12-13 Juni 2010 kuhabiskan waktuku untuk merawat lutung yang kian kurus, mencret lagi. Kubelikan pisang emas dan pisang susu dengan harapan Merry suka karena manis rasanya. Kubelikan juga dot yang paling lunak dan susu formula bayi seperti saran dokter hewan. Kucoba juga memberi tambahan beberapa sendok madu, dia suka tapi tidak banyak, mungkin terlalu manis. Susu formula untuk bayi yang baru kubeli juga mulai kuberikan padanya. Mungkin karena terlalu tawar, dia tidak doyan. Setelah ditambah cukup gula dia mau minum sedikit, tapi tampak tanpa gairah.
Hari Minggu sore tangis Merry lebih keras dari biasanya, makin lama makin menjadi-jadi, sampai malam tanpa henti. Mungkin karena lapar atau mulas akibat diare.
"Aahh... menjengkelkan, nangis terus-terusan, makin keras lagi...!", omelku kesal. Khawatir kalau tangisnya karena kedinginan, maka kuberi dia gombal lebih banyak sebagai selimut. Walaah...dikasih selimut juga tidak ngefek. Kumasukkan ke dalam kardus, kemudian kardusnya kumasukkan ke dalam rumah biar lebih hangat. Lhoo... masih nangis terus. Bikin kesal saja. "Diam...!", bentakku jengkel. Mungkin takut bentakanku dia diam dan menunduk. Tapi tidak lama kemudian nangis lagi, "Dasar lutung nakal !" omelku sambil menjundhu kepalanya dengan ujung jari telunjuk. Dia diam sesaat namun habis itu nangis lagi. Karena risih mendengar suara tangisnya yang makin keras maka kukeluarkan lagi dia ke teras belakang.
Sekitar jam 01.15 Merry nangis lagi dan sangat keras bahkan boleh dibilang menjerit. "Waduuh... anak lutung ini memang cari perkara, ini bisa mengganggu pak Hascaryo tetanggaku. Malam-malam begini nangis terus minta dilayani dikira aku tidak mengantuk apa?", gerutuku. Dengan perasaan jengkel aku keluar lagi ke tempat Merry. Bukannya dia diam tapi malah menangis lebih keras sambil merangkul kakiku erat-erat. Biasanya aku senang ketika dia merangkul kakiku, namun karena waktu itu lagi jengkel dan ngantuk maka kukibaskan kakiku cukup keras. "Breet...!". Akibatnya diluar dugaan, Merry terlempar jauh kemudian jatuh telentang, menggelepar di lantai, kejet-kejet. "Waduuh..., mudah-mudahan tidak mati", aku menyesal. Sungguh aku tidak mengira sedemikian buruk akibatnya. Dia diam, tidak bangun. Lama tidak bangun. Mungkin karena kesakitan. Saat telentang itulah tampak kakinya yang kurus tinggal tulang dan kulit. "Masyaallah...., kurus banget, kasihan....!". Segera kupegang, kutidurkan di tempat parsel. Dia membuka mata, menatapku dengan pandangan memelas. "Maafkan aku Merry...... aku menyesal. Kalau tahu begini akibatnya, tidak mungkin aku melakukannya... Anak lutung sepertimu malam dingin begini mestinya hangat dalam pelukan ibumu. Dalam gendongan indukmu. Tetapi kamu sebaliknya, kedinginan, merana...sendiri...sementara aku tidak mengerti penderitaanmu. Tak kusangka, aku malah membuatmu menderita. Harusnya aku menyayangimu, bukan menyakitimu seperti ini. Kenapa aku tidak mencontoh kasih sayang Tuhan yang menciptakan kamu. Bukannya kasih sayang yang kau dapat dariku, tapi kibasan kaki yang membuatmu terlempar jatuh telentang. Sini.... sini...sayang biar hangat tubuhmu...". Kugapai Merry. Dia merangkul lenganku dengan erat. Kubelai keningnya, dia diam seakan baru merasakan sentuhan kasih sayang yang mungkin selama ini dia inginkan. Pipi kanannya menempel di lengan kiriku. Matanya terpejam, dia tertidur. Nyenyak.
Lelah juga duduk berlama-lama di luar menunggui Merry, mengantuk dan banyak nyamuk lagi. Kupegang dan kuangkat Merry dengan lembut supaya tidak terbangun, kubungkus dengan gombal dan kutidurkan kembali di rotan bekas parsel. Dia membuka matanya, menatapku sejenak dengan sayu, kemudian tidur. Diam tanpa tangis. Kuelus-elus dahinya. "Maafkan aku Merry, aku menyesal, tadi aku jahat terhadapmu", kutinggalkan dia sendiri.
Esoknya Senin 14 Juni Merry diam saja tidak ada tangis, hanya tidur. Minum tidak mau apalagi makan. Badannya makin lemah tidak berdaya, sisa-sisa sorot matanya yang tajam sesekali melihatku ketika aku menyentuhnya. Tampak sayu tdak ada gairah sedikitpun. Aku sangat khawatir jika Merry mati. Aku mulai gugup. Mestinya ada upaya darurat. Merry harus diinfus, tapi bagaimana caranya, aku tidak bisa menginfus. Kumasukkan sesendok madu ke mulutnya, dia telan. Kumasukkan pisang yang sudah lumat, dia kunyah dan telan. Kuminumkan susu, dia minum. Aahh senang, semoga Merry segera sehat. Tapi tanda-tanda sehat belum tampak, malam itu dia diam saja, tidak terdengar lagi tangisnya. Aku gelisah dan cemas tapi tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Menjelang adzan subuh sebelum berangkat ke masjid, seperti biasanya kutengok dia di teras belakang. Masyaallah.... Merry sudah mati...sudah kaku. Kakinya sudah dikerubuti semut. Aku hanya diam, mangu-mangu memandang jasad Merry. Rasanya ada sesuatu yang sangat berharga hilang dariku. Juga sangat menyesal, mengapa aku membuat dia menderita sampai mati. Mengapa aku tidak melakukan penyelamatan nyawa Merry?
Matahari telah terbit, kumandikan mayat Merry yang kurus dan kaku. Kupejamkan matanya yang masih mendelik tapi tidak berhasil. Dibantu Abrori anak bungsuku Merry kukubur di sisi rumah, membujur ke utara menghadap kiblat. Semoga gusti Allah mengampuni kebodohanku tidak bisa merawat Merry. "Tadi malam jam sebelas dia sekarat pak, aku tidak tega melihatnya meregang nyawa", kata Abrori. Tanpa kusadari mataku telah basah oleh air mata penyesalan.
Semula aku hanya ingin melihat-lihat siapa tahu ada burung langka yang dijual pedagang di pasar tersebut. Tahun lalu aku beli burung hantu di pasar ini. Setelah tidak menemukan burung yang kucari, aku mau segera balik. Eh, tahu-tahu ada pedagang yang menawarkan monyet: "Boss aku duwe lutung, isih kuning mau tah?"
"Endhi...?", tanyaku. Dia lantas membuka kardus mie instan yang sudah dilubangi untuk keluar-masuknya udara, lantas dikeluarkannya bayi lutung itu. "Waow, lucu sekali!". Bayi lutung itu menjerit "ngooiik...ngooiik". Aku tidak mengerti itu jerit tangis atau nyanyi.
"Berapa?", tanyaku.
"Tiga ratus ribu", jawabnya.
"Satus seket ya".
"Gak boleh boss, ini dari kalimantan lho"
"Terus berapa bolehnya?"
"Duaratus lima puluh ribu"
"Ya wis, dua ratus ribu", tawarku.
Bayi lutung dimasukkan kembali ke kardus lantas diserahkan padaku. Segera kutaruh di jok belakang. Sepanjang perjalanan terus terdengar suaranya, kadang terdengar keras, sesekali lemah. Aku baru sadar kalau itu suara tangis setelah membayangkan bahwa dia baru saja dipisahkan dari induknya. Ketika berhenti di daerah Leces aku keluarkan dia dari kardus. Saat itu juga tangisnya reda kemudian dengan meloncat dia merangkul tanganku erat sekali seolah-olah tidak mau melepaskan. Tentu saja kusambut pelukannya dengan senang hati.Telapak tangan dan kakinya sangat lembut seperti telapak bayi. Setelah selesai istirahat, dia kupaksa masuk lagi ke dalam kardus. Yah...dia nangis lagi.
Merry |
Ketika sampai di rumah anak lutung itu kuajak bicara, entah dia mengerti atau tidak,"Kamu kuberi nama Edo, sekarang kamu tinggal di sini sama aku ya, semoga kamu kerasan". Menurutku nama itu cukup gagah untuk lutung jantan seperti dia. Tetapi diluar dugaanku, Edo ternyata bukan jantan namun betina, terlihat dari arah semburan air kencingnya. "Wah ternyata kamu betina, namamu kuganti menjadi Merry". Terakhir aku baru mengerti bahwa Merry adalah jenis lutung Jawa yang dilindungi. Nama latinnya Trachypithecus auratus.
Merawat bayi lutung ternyata tidak mudah. Mungkin karena dia masih stress setelah perjalanan 180 km dari Lumajang, lapar, atau karena sebab lain dia menangis terus. Makan pun tidak mau. Dikasih pisang dia tidak doyan, "ngooiik-ngooiik" melulu, maunya cuma merangkul tangan atau kakiku. Diberi minum juga tidak mau. Baru setelah dotnya diganti dengan jenis yang lebih empuk dia mulai mau minum. Dia lebih suka susu Dancow balita ditambah sedikit gula pasir.
Tiga minggu aku merawat Merry, bukannya dia makin besar dan kuat tapi makin kurus. Malam hari jam 21.00 dia bangun terus menangis. Mungkin lapar. Setelah diberi minum baru dia tidur lagi. Jam 00.00-02.00 dia menangis lagi, minta minum, kalau tdk diberi akan terus menangis. Aku belum pernah tahu mahluk yang kuat tangisnya seperti anak lutung ini. Selesai ngedot langsung tidur. Tahu tidurnya lutung? Dia biasa tidur sambil duduk, kadang kepalanya disandarkan, kadang juga tidur melungker seperti tidurnya orang yang kedinginan. Sering dia hanya mau tidur setelah dibungkus dengan kain gombal sebagai selimut, mungkin lebih nyaman dan hangat.
Karena tampak makin kurus, maka kuganti susunya dengan susu sapi fullcream. Rupanya Merry suka susu fullcream, dia minum banyak. Tapi karena tidak yakin bahwa susu ini cocok maka kucoba mengecek ke beberapa dokter hewan yang namanya ada di internet. Saran mereka agar segera menghentikan pemberikan susu fullcream karena bisa bikin mencret. Wah ternyata betul, besoknya Merry diare. Aku amat menyesal.
Sabtu dan Minggu 12-13 Juni 2010 kuhabiskan waktuku untuk merawat lutung yang kian kurus, mencret lagi. Kubelikan pisang emas dan pisang susu dengan harapan Merry suka karena manis rasanya. Kubelikan juga dot yang paling lunak dan susu formula bayi seperti saran dokter hewan. Kucoba juga memberi tambahan beberapa sendok madu, dia suka tapi tidak banyak, mungkin terlalu manis. Susu formula untuk bayi yang baru kubeli juga mulai kuberikan padanya. Mungkin karena terlalu tawar, dia tidak doyan. Setelah ditambah cukup gula dia mau minum sedikit, tapi tampak tanpa gairah.
Hari Minggu sore tangis Merry lebih keras dari biasanya, makin lama makin menjadi-jadi, sampai malam tanpa henti. Mungkin karena lapar atau mulas akibat diare.
"Aahh... menjengkelkan, nangis terus-terusan, makin keras lagi...!", omelku kesal. Khawatir kalau tangisnya karena kedinginan, maka kuberi dia gombal lebih banyak sebagai selimut. Walaah...dikasih selimut juga tidak ngefek. Kumasukkan ke dalam kardus, kemudian kardusnya kumasukkan ke dalam rumah biar lebih hangat. Lhoo... masih nangis terus. Bikin kesal saja. "Diam...!", bentakku jengkel. Mungkin takut bentakanku dia diam dan menunduk. Tapi tidak lama kemudian nangis lagi, "Dasar lutung nakal !" omelku sambil menjundhu kepalanya dengan ujung jari telunjuk. Dia diam sesaat namun habis itu nangis lagi. Karena risih mendengar suara tangisnya yang makin keras maka kukeluarkan lagi dia ke teras belakang.
Sekitar jam 01.15 Merry nangis lagi dan sangat keras bahkan boleh dibilang menjerit. "Waduuh... anak lutung ini memang cari perkara, ini bisa mengganggu pak Hascaryo tetanggaku. Malam-malam begini nangis terus minta dilayani dikira aku tidak mengantuk apa?", gerutuku. Dengan perasaan jengkel aku keluar lagi ke tempat Merry. Bukannya dia diam tapi malah menangis lebih keras sambil merangkul kakiku erat-erat. Biasanya aku senang ketika dia merangkul kakiku, namun karena waktu itu lagi jengkel dan ngantuk maka kukibaskan kakiku cukup keras. "Breet...!". Akibatnya diluar dugaan, Merry terlempar jauh kemudian jatuh telentang, menggelepar di lantai, kejet-kejet. "Waduuh..., mudah-mudahan tidak mati", aku menyesal. Sungguh aku tidak mengira sedemikian buruk akibatnya. Dia diam, tidak bangun. Lama tidak bangun. Mungkin karena kesakitan. Saat telentang itulah tampak kakinya yang kurus tinggal tulang dan kulit. "Masyaallah...., kurus banget, kasihan....!". Segera kupegang, kutidurkan di tempat parsel. Dia membuka mata, menatapku dengan pandangan memelas. "Maafkan aku Merry...... aku menyesal. Kalau tahu begini akibatnya, tidak mungkin aku melakukannya... Anak lutung sepertimu malam dingin begini mestinya hangat dalam pelukan ibumu. Dalam gendongan indukmu. Tetapi kamu sebaliknya, kedinginan, merana...sendiri...sementara aku tidak mengerti penderitaanmu. Tak kusangka, aku malah membuatmu menderita. Harusnya aku menyayangimu, bukan menyakitimu seperti ini. Kenapa aku tidak mencontoh kasih sayang Tuhan yang menciptakan kamu. Bukannya kasih sayang yang kau dapat dariku, tapi kibasan kaki yang membuatmu terlempar jatuh telentang. Sini.... sini...sayang biar hangat tubuhmu...". Kugapai Merry. Dia merangkul lenganku dengan erat. Kubelai keningnya, dia diam seakan baru merasakan sentuhan kasih sayang yang mungkin selama ini dia inginkan. Pipi kanannya menempel di lengan kiriku. Matanya terpejam, dia tertidur. Nyenyak.
Lelah juga duduk berlama-lama di luar menunggui Merry, mengantuk dan banyak nyamuk lagi. Kupegang dan kuangkat Merry dengan lembut supaya tidak terbangun, kubungkus dengan gombal dan kutidurkan kembali di rotan bekas parsel. Dia membuka matanya, menatapku sejenak dengan sayu, kemudian tidur. Diam tanpa tangis. Kuelus-elus dahinya. "Maafkan aku Merry, aku menyesal, tadi aku jahat terhadapmu", kutinggalkan dia sendiri.
Esoknya Senin 14 Juni Merry diam saja tidak ada tangis, hanya tidur. Minum tidak mau apalagi makan. Badannya makin lemah tidak berdaya, sisa-sisa sorot matanya yang tajam sesekali melihatku ketika aku menyentuhnya. Tampak sayu tdak ada gairah sedikitpun. Aku sangat khawatir jika Merry mati. Aku mulai gugup. Mestinya ada upaya darurat. Merry harus diinfus, tapi bagaimana caranya, aku tidak bisa menginfus. Kumasukkan sesendok madu ke mulutnya, dia telan. Kumasukkan pisang yang sudah lumat, dia kunyah dan telan. Kuminumkan susu, dia minum. Aahh senang, semoga Merry segera sehat. Tapi tanda-tanda sehat belum tampak, malam itu dia diam saja, tidak terdengar lagi tangisnya. Aku gelisah dan cemas tapi tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Menjelang adzan subuh sebelum berangkat ke masjid, seperti biasanya kutengok dia di teras belakang. Masyaallah.... Merry sudah mati...sudah kaku. Kakinya sudah dikerubuti semut. Aku hanya diam, mangu-mangu memandang jasad Merry. Rasanya ada sesuatu yang sangat berharga hilang dariku. Juga sangat menyesal, mengapa aku membuat dia menderita sampai mati. Mengapa aku tidak melakukan penyelamatan nyawa Merry?
Matahari telah terbit, kumandikan mayat Merry yang kurus dan kaku. Kupejamkan matanya yang masih mendelik tapi tidak berhasil. Dibantu Abrori anak bungsuku Merry kukubur di sisi rumah, membujur ke utara menghadap kiblat. Semoga gusti Allah mengampuni kebodohanku tidak bisa merawat Merry. "Tadi malam jam sebelas dia sekarat pak, aku tidak tega melihatnya meregang nyawa", kata Abrori. Tanpa kusadari mataku telah basah oleh air mata penyesalan.