TERGUSUR
Oleh Sidi Pranyoto
(Atas himbauan pak Bambang Tjahjono utk menulis sesuatu)
Juni 2001 ada penggantian pucuk pimpinan perusahaan. Sesuatu hal yang sudah biasa terjadi periode lima tahunan. Setelah itu dilanjutkan dengan rotasi pejabat dibawah direksi. Posisi saya saat itu sebagai salah satu dari tujuh pejabat eselon satu, Kepala Kompartemen Komersial. Tugas utamanya memasarkan dan mendistribusikan semua produk yang dihasilkan Petrokimia Gresik. Salah satu produk yang sangat bermasalah pada waktu itu adalah pupuk Phonska. Masih sangat sulit untuk dipasarkan. Kenapa sulit?
Pertama pupuk Phonska adalah produk baru yang belum dikenal konsumen. Petani, pekebun, dan petambak belum mengenal pupuk dengan merk Phonska. Selain masalah merk mereka juga belum fahaml pupuk majemuk. Pada saat itu mereka hanya mengenal pupuk Urea, TSP, SP36, ZA, dan KCl yang semuanya merupakan pupuk tunggal, hanya satu unsur hara saja . Sedangkan Phonska merupakan pupuk majemuk yang mengandung hara N-Nitrogen, P-Phosphate, K-Kalium dan S-belerang. Tidak mudah untuk membangun kepercayaan petani untuk mengubah kebiasaan dari memakai pupuk tunggal ke pupuk majemuk.
Apalagi jika diingat sejarah awalnya, pupuk Phonska itu dirancang bukan untuk tanaman pangan tapi untuk tanaman perkebunan. Karena beberapa perusahaan Perkebunan Negara yang semula akan membiayai pembangunan pabrik dan menggunakan pupuk Phoska mengundurkan diri maka sasaran tanaman pupuk Phonska yang semula untuk tanaman perkebunan dialihkan untuk tanaman pangan. Tahun 1999-2000 merupakan tahun-tahun paling kalang kabut untuk pengenalan kepada petani, premarketing, dan produksi pupuk Phonska. Bahkan di internal perusahaan juga terjadi pro dan kontra yang cukup tajam untuk komersialisasi pupuk Phonska.
Kedua, penampilan fisik Phonska masih memprihatinkan. Jika disimpan di Gudang dalam waktu beberapa minggu saja sudah menggumpal keras seperti batu. Untuk menggunakan pupuk Phonska di sawah petani harus memakai alat pemukul untuk meremukkan bongkahan keras ini. Bahkan ketika masih di Gudang penyimpanan untuk menumpuk Phonska di atas palet saja sulit. Tumpukan pupuk ini mudah roboh karena permukaan kantong tidak rata, isi kantong tidak beraturan berbentuk bongkahan keras.
Ketiga, sarana dan prasarana gudang distribusi di daerah belum memadai. Hanya punya 6 gudang penjangga di pulau Jawa. Waktu itu Petrokimia Gresik baru saja diperbolehkan memasarkan pupuk sendiri. Sebelumnya dilakukan oleh PT Pusri sebagai distributor tunggal bagi pemasaran pupuk di Indonesia. Dengan SK Menteri Perdagangan Petrokimia Gresik diijinkan untuk menyalurkan sendiri produknya. Pada saat itu Petrokimia Gresik baru belajar memasarkan pupuk sendiri.
Waktu belajar ilmu pemasaran elementer semua orang juga sudah tahu bahwa bagi merk dan produk baru untuk memasuki pasar perlu waktu 3-5 tahun agar bisa sukses dikenal konsumen. Pada kurva S paling bawah, buntut gambar S, masih berada dibawah nol, artinya masih perlu biaya promosi, demonstrasi, pelatihan konsumen dll. Pada saat itu Phonska masih berumur kurang dari 2 tahun. Perlu waktu lagi supaya dikenal dan dipilih oleh petani.
Bulan Juli 2001 saya dipanggil ke ruang kerja Boss. Empat mata. Setelah bicara pendahuluan pak Boss tanya, “ Berapa stok Phonska?”.
Jawab saya singkat, ”Sekitar 120.000 ton pak, termasuk impor dari Korea”.
“Habiskan dalam waktu 3 bulan”, perintah pak Boss. “Kalau tidak habis dalam waktu 3 bulan kamu saya pindah menjadi Kepala Satpam”, ancamnya serius. Dilihat dari penampakan wajah Boss dan intonasi suaranya memang itu ultimatum benaran.
Waduh….tidak main-main ini. Segala kemampuan sudah saya curahkan untuk mengegolkan target, mengabiskan stok lama Phonska 120.000 ton. Hasilnya….? Ternyata sampai Oktober 2001 stok tidak habis. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Tinggal nunggu eksekusi ultimatum. Dag-dig-dug, cemas seperti ketika masih kecil dulu detik-detik menjelang disunat. Mau dibuang kemana aku. Tapi apa mungkin aku dipindah menjadi Kepala Satpam, sedangkan kepala Satpam pada waktu itu pangkatnya Kolonel. Sedangkan aku kan bukan kolonel. Mungkin ancaman tidak jadi dilaksanakan.
Waktu berjalan dengan aman sampai 27 Desember 2001 ketika saya dipanggil menghadap pak Boss. Berdua, empat mata. Beliau tampak santai, ceria. Setelah bicara sana-sini sebagai pengantar, pak Ji (office boy) juga sudah selesai menghidangkan suguhan di piring berisi pisang rebus, jagung manis rebus, kacang rebus dan minuman teh hangat, beliau berkata singkat :”Kamu saya pindah !”.
“Blaar…” seperti suara mercon meledak di telingaku. Waduh ancaman benar-benar dieksekusi.
“Dipindah kemana pak?”, tanyaku.
“Ke Yayasan !”, jawabnya pendek.
Kali ini bukan hanya seperti mercon yang meledak di kupingku tapi bom atom Nagasaki Hiroshima. Bukan hanya telinga yang kopok tapi sekujur badan rasanya hancur berkeping-keping. Bagaimana perasaan hati ini tidak hancur, Yayasan itu eselon 2 sedangkan posisiku saat ini eselon satu. Berarti diturunkan grade saya. Yayasan itu ada di luar struktur perusahaan, berarti aku sedang diasingkan. Biasanya pejabat yang “dibuang” di Yayasan adalah orang sudah mau pension, tidak produktif. Mau dihancurkan bagaimana lagi aku ini ?
Sementara pandanganku masih “blawur”, berkunang-kunang. Entah berada dimana rasanya. Dada terasa sesak. Untuk bicara juga tidak bisa, apa yang mau dibicarakan. Bibir rasanya lengket seperti dilem Alteco. Mirip orang bisu. Diam tidak berkutik.
Pak Boss orangnya cerdas, mengerti apa yang saya alami. Untuk memecah suasana senyap beliau menawarkan minum. Teh hangat saya kokop pelan tanpa berhenti, minum sambil merem waktu itu. Teh secangkir langsung habis. Setelah itu dia menawarkan makanan rebusan di piring. “Ayo, silakan”, ucapnya sambil menunjuk tongkol jagung manis. Saya menurut. Jagung manis rebus saya kerokoti tanpa sadar tanpa perasaan karena pikiran sedang terbang kemana-mana. Jagung rebus habis. Pisang perlahan saya ambil, langsung saya kuliti, kunyah, habis. Tinggal kacang yang tersisa tapi makanan ini tidak cocok bagi orang yang lagi remuk seperti itu.
“Misi saya di Yayasan apa pak?” tanyaku ke pak Boss pura-pura tabah.
“Bikin rumah untuk karyawan, kira-kira 2.000 unit”. Beberapa pandangan visioner pun beliau sampaikan. Aku hanya mendengarkan sambil “ndomblong” masuk telinga kiri keluar kuping kanan. Mana mungkin dalam kondisi itu bisa konsentrasi.
“Baik pak”, jawabku. “Barangkali masih ada arahan lain?”
“Sementara itu dulu”, jawabnya.
Keluar dari ruang pak Boss langkahku gontai menapaki lorong kantor direksi. Hancur lebur rasa hati ini. Campur aduk antara sedih, malu, sakit hati, kecewa, marah dan entah apa lagi. Serba tidak nyaman, resah gelisah. Ingin ngamuk tapi ngamuk kepada siapa? Tidak ada yang perlu diamuk. Ingin marah tapi mau marah kepada siapa. Tidak ada yang patut dimarahi. Semua mesti dirasakan sendiri. Akibatnya ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam dada ini tapi tidak bisa. Berkali-kali ingin meledak tapi tidak bisa. Hanya bisa diam “lenger-lenger”. Tertahan oleh benteng yang cukup kuat. Apa itu? Orang Jawa bilang “sabar, tawakal, temen, trimo”. Ikhlas, “trimo”. ATidak ada tangis, tidak ada air mata. Laki-laki pantang meneteskan air mata karena jika menetes jatuh ke bumi membuat tanah jadi sangar, tandus dan sial.
Lelaki boleh sedih, malu, sakit hati, marah, atau kecewa sebab dia sebagai manusia biasa. Perasaan-perasaan emosional itu memang melekat pada diri setiap orang sebagai software yang telah diinstall oleh sang pencipta. Boleh kita larut dalam kesedihan, kekecewaan, sakit hati dan lain-lain, tapi tidak boleh berlarut-larut, berkepanjangan. Apalagi jika disadari bahwa yang hilang hanya jabatan. Kata orang jabatan itu hanya sekadar “sampiran” atau aksesoris. Meskipun sekadar “sampiran” tetapi tidak bisa diingkari bahwa ketika tergusur dari jabatan perasaan emosional itu ada. Rasa kehilangan. Itu Korban PHONSKA.
Gresik, Juni 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar